Setiap pagi Asmin duduk di tepi danau itu. Ia selalu menyempatkan diri ke tempat itu tanpa ditemani siapa pun. Ia masih anak kecil, juga anak tunggal, kelas dua sekolah dasar yang cukup jauh dari kampungnya. Berbakti kepada ibu yang telah lama ditinggal bapaknya dijemput Malakulmaut. Ia merasa ada sesuatu yang berharga jika duduk di tepi danau yang tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya, yang terbuat dari bilik-bilik.
Air danau itu memang jernih, sehingga bebatuan yang ada di dasarnya terlihat dengan jelas bentuk, letak, dan lekukannya. Air danau itu mengalir dengan kecepatan yang tenang di antara bebatuan besar yang mencoba menghadang arusnya. Tetapi justru dengan pemandangan itu suasananya semakin bertambah indah dan menakjubkan. Pohon-pohon besar yang merengkuhkan dahan-dahannya yang berdaun lebat seperti mencoba memayungi keindahan danau itu dari guyuran musim hujan yang kadang-kadang seperti sedang marah.
"Asmin, kamu jangan terlalu sering main di tepi danau itu," kata ibunya pada suatu malam, sebelum tidur. "Nanti kamu terjatuh dan terbawa arus atau tenggelam."
Nasihat yang diwejangkan ibunya itu hanya ditanggapi dengan dingin saja. Namun ia tidak mau menampakkan kedinginannya itu di depan ibunya, karena ia pun menyadari bahwa kata-kata yang diucapkan oleh ibunya itu adalah benar dan sebagai tanda rasa cinta ibu terhadap anaknya. Apalagi ia anak satu-satunya, pikir Asmin dalam hati. Ia tetap mendengarkan setiap nasihat yang diucapkan ibunya dengan rasa sopan dan rendah diri. Tetapi keesokan harinya ia selalu menyempatkan diri lagi ke tepi sungai itu, beberapa menit sebelum langkah-langkah semangatnya diayunkan menuju sekolahnya tempat ia menimba ilmu.
Danau yang indah itu tidak terlalu jauh dari samping rumah mungil yang terbuat dari bilik-bilik itu. Dan jarak antara rumah itu dengan rumah-rumah penduduk lainnya cukup berjauhan. Karena daerah yang mereka tempati boleh dikata sangat terpencil dan jauh dari keramaian jalan desa, jalan kecamatan, apalagi jalan dan kota kabupaten. Jangankan berharap akan adanya masuk listrik, jalan setapak yang biasa dipakai pun rasanya tak pernah mendapat perhatian dari pegawai desa. Hanya pernah beberapa tahun yang lalu, menjelang pemilihan umum, sempat tersebar isu bahwa apabila partai tertentu menang dalam meraih suara terbanyak di wilayah kecamatannya, maka kondisi jalan sepanjang menuju kampung itu akan diperbaiki dan dilebarkan. Tetapi kabar itu hanya tinggal kebisuan rumpu-rumput liar dan pepohonan yang banyak tumbuh di sepanjang jalan setapak itu.
Asmin rupanya menyimpan harapan yang selalu ia tunggu-tunggu dari tepi danau yang jernih itu. Di seberangnya terhampar berpetak-petak sawah dalam kehijauan, sangat indah sebagai salah satu pemandangan yang alamiah. Danau itu membentang dari hulu utara menjalar, membatasi wilayah timur kampungnya, ke arah selatan yang rada landai. Di sanalah, di tepi danau itulah, Asmin selalu duduk menyendiri menghadap ufuk timur menanti matahari. Ya, ia selalu menanti matahari terbit dengan kebulatan yang sempurna dalam warna merah disambut harum mekar bunga-bunga putih dari rekah tanah subur dan tumbuhan lain yang terkena sinar hangat matahari itu.
Tetapi, semenjak selesainya pemilu beberapa tahun yang telah lewat itu, matahari tak pernah kembali terlihat terbit di ufuk timur. Padahal sebelum terjadinya hal ini, tak ada tanda-tanda yang membuat keadaan akan berubah seperti akhir-akhir ini. Setiap pagi yang ada dan terlihat sekarang di ufuk timur itu hanyalah gumpalan-gumpalan kabut putih dalam ketebalan yang luar biasa. Sehingga kampung Asmin dan penduduknya yang jarang-jarang itu telah lama tidak lagi dapat menikmati pemandangan matahari terbit dan kehangatan cahayanya.
"Bu, kapankah matahari itu akan terlihat kembali setiap terbitnya?" tanya Asmin pada suatu siang, setelah pulang dari sekolahnya.
"Entahlah, Nak, kita tidak punya kuasa untuk memastikannya."
"Apakah orang-orang di kampung ini juga tidak tahu kapan matahari itu akan terlihat, Bu?"
"Sudahlah, itu adalah kuasa Tuhan," jawab ibunya sambil mengusap-usap kepala Asmin. "Dan kita tidak usah mencemaskannya." Sebenarnya Asmin merasa kecewa dengan jawaban ibunya yang tidak memuaskan. Tetapi ia memendam kekecewaannya itu dengan tidak bertanya lebih jauh lagi.
"Sekarang, gantilah seragam sekolahmu," lanjut ibunya, "lalu makan, dan setelah itu bantu ibu memotongi kayu bakar." Tanpa banyak alasan lagi Asmin segera melakukan apa yang baru saja ibunya katakan.
*****
Pada suatu malam Asmin bermimpi tentang seorang pangeran dari negeri Antaha. Ia datang kepadanya membawa satu pesan yang sangat mengagetkan. Dia datang menjelang pagi hari, dengan pakaian kebesarannya yang gagah seperti dalam dongeng-dongeng kerajaan jaman dahulu. Dan pangeran itu datang dengan beberapa orang anak-anak, laki-laki dan perempuan, yang juga hampir sama usianya dengan Asmin.
"Asmin, aku adalah pangeran Antanur dari negeri Antaha," kata sang pangeran memperkenalkan dirinya. "Kau tidak usah kaget dan takut dengan kedatanganku ini, karena sebenarnya maksud kedatanganku adalah ingin meluluskan keinginanmu untuk kembali menyaksikan matahari terbit dari ufuk timur."
"Pangeran tahu dari mana?," tanya Asmin keheranan.
"Aku selalu tahu pada keinginan anak-anak yang merindukan keindahan," jawab pangeran Antanur sambil tersenyum dan mengusap-usap kepala Asmin, seperti yang pernah dilakukan ibunya.
"Benarkah itu pangeran?," tanya Asmin kembali dengan perasaan berharap benar.
"Percayalah pada ucapanku, Asmin. Kau lihat anak-anak di sekelilingku ini, mereka juga mempunyai keinginan yang sama dengan keinginanmu. Maka dari itu, aku datang ke sini menemuimu, karena hanya kamulah sendiri yang belum aku beritahu caranya menyaksikan matahari itu terlihat setiap terbitnya. Dan yang paling utama, kamulah yang akan menjadi pahlawan dalam menyingkap tabir semua ini."
Meskipun Asmin merasa senang dan tersanjung dengan ucapan sang pangeran itu, di dasar hatinya ia tetap masih menyimpan keragu-raguan. Benarkah dirinya yang akan menjadi pahlawan dalam menyingkap tabir semua itu? Benarkah semua ucapan sang pangeran itu, sedangkan ia hanyalah anak yatim dan hidup di perkampungan yang sangat terpencil? Begitulah kira-kira isi keraguan yang ada dalam hatinya.
Kemudian pangeran Antanur mengajak Asmin dan anak-anak lainnya ke tempat Asmin biasa duduk menyendiri di tepi danau itu. Sesampainya di tempat, pangeran Antanur menyuruh mereka duduk bersila dalam bentuk lingkaran dengan tangan saling berpegangan, kecuali Asmin yang berada di tengah-tengah lingkaran itu berdiri seorang diri dalam sikap sempurna menghadap ke arah matahari akan muncul.
"Mulailah, sekarang pejamkan mata kalian dan berdoalah kepada yang mahakuasa agar matahari itu dapat terlihat ketika terbit," suruh pangeran kemudian. "Dan kau, Asmin, jangan kaget jika pada waktunya nanti kau akan berubah." Anak-anak itu menuruti apa yang telah dikatakan sang pangeran, dan ia sendiri hanya berdiri di belakang Asmin, di luar lingkaran, dengan mulut komat-kamit seperti sedang berdoa.
Beberapa menit kemudian, tiba-tiba ada sesuatu yang terlihat lain dengan keadaan Asmin. Ia tidak lagi menapakkan kedua kakinya di atas tanah. Ia semakin terbang menjauhi bekas pijakannya. Melayang, melayang, dan melayang ke arah matahari akan terbit di balik gunung dari batas jauh hamparan petak-petak sawah. Asmin semakin jauh menempuh perjalanan dalam kemelayangannya. Hingga pada akhirnya ia berhenti di antara gumpalan-gumpalan kabut tebal yang menyebabkan matahari itu tidak pernah terlihat manakala waktunya terbit.
Di sanalah ia seolah-olah mempunyai kekuatan yang luar biasa, karena tiba-tiba kabut tebal itu memudar sedikit demi sedikit meninggalkan gumpalannya. Ya, benar-benar suatu peristiwa yang hebat dan baru terjadi.
Asmin, masih dengan keheranan yang mulai memudar dalam jiwanya, menyaksikan pudaran kabut yang semakin lama semakin cepat berhamburan dan menghilang dari pandangan mata itu, sedikit tersenyum. Entah ke mana gerangan gumpalan kabut itu. Hingga akhirnya Asmin kembali melayang ke arah anak-anak yang tadi mengelilinginya dalam sebuah lingkaran, setelah benar-benar ia menyaksikan dan meyakini bahwa kabut itu tak ada lagi, meski setitik.
Sekarang ia telah berada dalam lingkaran seperti semula, dalam keadaan sikap sempurna.
"Baiklah," kata sang pangeran tiba-tiba. "Kini saatnya kalian bersiap-siap menyaksikan matahari terlihat terbit dari balik gunung itu dengan keindahannya yang khas."
Kemudian anak-anak itu menghentikan doanya dan membuka mata masing-masing sambil mencoba berdiri menghadap ke arah di mana matahari itu akan terlihat terbit.
"Wooow........." kata mereka hampir berbarengan dengan nada takjub, karena suasana pandangan mereka ke depan kini benar-benar dirasakannya terbuka luas dan melegakan hati. Mereka sangat berbahagia dalam penantiannya akan melihat kembali matahari yang telah lama tidak pernah menampakkan dirinya ketika terbit.
Detik demi detik berkejaran dalam hitungan waktu, detak jantung mereka pun berdegup dalam harap-harap yang menegangkan berpadu dengan suara-suara ayam dan hewan lainnya yang seolah juga sedang ikut menyambutnya. Ya, hawa di sekitar mereka pun dirasakan hangat dan menambah semangat. Hingga pada akhirnya, tepat ketika sang pangeran secepat kilat menghilang dari hadapan mereka, matahari muncul sedikit demi sedikit dari balik gunung di jauh sana. Indah, ya, benar-benar indah dengan cahayanya yang khas menyinari kembali kampung Asmin yang terpencil itu. Harapan telah bersinar kembali dari waktu-waktu yang hampir buta.
Seolah mendapatkan sebuah hadiah yang sangat berharga, anak-anak itu begitu berbahagia dengan berbagai teriakan yang histeris khas anak-anak sambil berjingkrak kegirangan, cukup lama. Tetapi Asmin merasa tersadarkan karena adanya keganjilan di sekitar mereka. Ia merasa bahwa sang pangeran Antanur, yang berjasa membantu tercapainya harapan mereka telah tidak ada, tidak terlihat lagi bersama mereka. Asmin mencari-cari di sekitarnya, di antara anak-anak lain yang masih tenggelam dalam kebahagiannya. Setelah merasa yakin tak menemukan di sekitarnya, ia memisahkan diri berjalan mencari sang pangeran sambil memanggil-manggil namanya.
"Pangeran Antanur.... pangeran Antanur.... pangeran Antanur...." Orang yang dipanggil itu tidak juga menampakkan dirinya. Tetapi Asmin tidak putus asa, ia ulangi kembali memanggil-manggil nama itu dengan nada yang lebih keras, hingga gemanya menembus kerapatan pepohonan yang banyak tumbuh di sekitar danau itu.
"Pangeran Antanur.... pangeran Antanur.... pangeran Antanur...."
*****
Ibunya segera membangunkan Asmin dari gundam yang memanggil-manggil nama pangeran Antanur itu, karena khawatir pada anaknya sedang dalam mimpi buruk. Satu kali belum sadar, dua kali belum juga sadar. Ketiga kalinya, barulah Asmin terbangun dan duduk di pinggir tempat tidurnya, tetapi dengan cepat ia menanyakan keberadaan pangeran Antanur kepada ibunya.
"Ke mana ia perginya, Bu?" Yang ditanya tidak langsung menjawab, ibu Asmin malah dengan tenang berusaha menepuk-nepuk pipi anaknya supaya segera sadar dari tidur dan dunia mimpi anak kesayangannya.
"Bangunlah, Nak, bangun..." kata ibunya.
Tetapi Asmin belum juga sadar rupanya. Ia masih terus memanggil-manggil pangeran Antanur.
"Pangeran Antanur... pangeran Antanuur... pangeran Antanur.... di manakah kau? Aku mencarimu. Aku tak mau kehilangan dirimu..."
Ibunya menepuk-nepuk pipi Asmin lebih keras lagi. Tapi sang anak tetap tak bergeming. Asmin malah memanggil-manggil pangeran Antanur lebih keras lagi. Dan tanpa diduga, Asmin segera berdiri dan lari sekencang-kencangnya ke luar rumah menyusuri jalanan setapak penuh rimbun, menuju tepi danau tempat ia biasanya menunggu matahari terbit dari balik gunung di jauh sana.
"Pangeran Antanur... pangeran Antanur... pangeran Antanur.."
Ibunya terkesiap tak mengerti. Ia hanya dapat melongo dengan mulut terbuka menyaksikan anaknya lari dan terus lari tunggang-langgang. Hatinya terasa berat. Kemudian ia menangis dari balik jendela yang baru saja ia bukakan.