Mistery Terbaru

Minggu, 11 Oktober 2009

''Mungkin Aku Rumput''

Mungkin, Aku Rumput

Rumput itu bergoyang lagi tertiup angin. Lembaran-lembaran debu yang terus
mengibaskan tubuhnya, mengelindap di celah buku daunnya. Berkisah sejenak,
meskipun hidupnya tak selalu indah. Dirinya yang sebatas tumbuhan perdu,
namun telah turut meramaikan warna-warni dunia. Dengan pasrahnya, diterima
deru angin, mencabut beberapa serabut akarnya yang lemah—tiada bersatu lagi
dengan tanah.
Yeah, beberapa bulan belakangan ini aku merasa jiwaku telah bermeditasi
dengan rumput. Seketika musim yang berubah dengan hujan yang mengguyur
tiada henti. Dan rumput itu, kembali merasakan tubuhnya yang disirami bulir-
bulir air bening. Ia mencoba menghitung banyak air yang mengalit. Tak bisa!
Tak bisa! Tapi harus bisa! Tak bisa lagi! Ia seperti kelelahan dengan nafas
terengah untuk menghitung banyaknya air yang mengalir. Menetes sesuai
kodrat sejak zaman nabi terdahulu: dari tempat tinggi ke tempat yang
rendah. Air-air yang membulir menjepit batangnya. Seperti selangkangan
perempuan yang sedang mnjepit lelaki perkasa. Sesekali pula, air yang
menderas tersebut membuatnya rebah, terbaring sama rata dengan tanah.
Aku cuma rumput. Tiada lebih. Tiada artinya untuk jangkauan semesta
kehidupan. Paling banter akan mati, menjadi makanan binatang herbivora,
dilumatnya masuk ke dalam usus sampai halus. Dipintal-pintal, kemudian,
keluar menjadi kotoran yang berwarna hijau. Hidupku, ya, hidupku ini
brangkali sekali tumbuh sudah itu mati 1). Tak lagi perlu menunggu-nunggu
harus berumur panjang. Sebab, diganggu atau tidak dengan binatang herbivora
itu tetap saja dalam tenggang waktu beberapa bulan aku akan mengering dan
layu. Kemudian, separuh nafasku 2) akan tergantikan oleh rumput-rumput
lainnya. Semua memang ada masanya, tidak mungkin setiap makhluk hidup
selalu berjaya. Setiap saat, setiap waktu. Begitu juga aku, telah kusadari
dalam-dalam semua yang ada. Maka, aku menerimanya sebagai anugerah.
Sebagaimana juga matahari yang selalu mekar setiap hari, burung-burung yang
bercicit, embun yang menari-nari setiap pagi di atas tubuhku atau suara
pengeboman ndi belahan bumi sana, berputaran sampai pusing mengikuti siklus
hidup yang ditentukan sejak lama.
Kini, aku tahu dengan menjadi sebuah rumput, aku selalu siap untuk
ditindas. Untuk selalu diinjak-injak oleh ribuan kaki perkasa yang
berlumpur hitam. Karena keberadaanku memang di bawah, sama rata dengan
tanah. Di jalan-jalan, ketika roda-roda berputar menggilas, di celah batu
yang lapuk dimakan usia, di hutan-hutn yang membasah setiap malamnya.
Dengan begitu, aku merasa sempurna, menerima dengan lapang dada, kekalahan
ataupun kemenangan. Dengan sikap pasrah yang biasa. Entah, beberapa hri
mendatang aku kelak akan mati tercabut oleh pembangunan tiang-tiang
penyangga gedung yang menjulang tinggi atau diinjak-injak kembali oleh
ratusan sepatu yang melangkahkan kaki dengan mantap.
Y, aku hanyalh sebatang rumput. Tak akan menjadi sebuah sejarah besar bagi
republik ini. Tempatku selalu dibawah, meskipun aku juga tergolong dalam
tanaman bunga, tapi bunga pengganggu. Namun, setidaknya aku cukup bangga,
aku tak seperti temanku yang benalu itu, yang tumbuh di dahan pohon inang—
haram neggayutkan akar yang dipunya ke tanah. Benalu yang selalu
bergelantungan pada dhan pohon, mengisap saripati tanaman inangnya.
Yeah, aku bukan seperti itu! Terkadang; ada perasaan bangga pula bahwa aku
di waktu-waktu tertentu dapat membuat indah. Sebagai contoh, tengoklah
lapangfan sepak bola—apabila aku tidk berada di atasnya, bukankah terlihat
aneh dan janggal? Dengan bermain bola di atas tubuhku, mereka lebih percaya
diri. Lebih hidup permainannya. Gol-gol indahpun berhamburan. Dan, aku juga
bisa menjadi aksesoris di halaman rumah. Apalagi bila memakai spesies yang
khusus dari jenisku, maka akan terlihat halaman rumah itu menjadi hijau—
berseri. Tapi, kupikir, bila terus-terusan membanggakan diri sudah barang
tentu aku akan menjadi besar hati. Sudahlah, mungkin ada biknya bila
kuterima saja kenyataan ini. Bahwa aku hanyalah sebuah rumput. Bisa manis,
bisa juga pahit. Bisa memberikan kesegaran baru setiap kali memandangnya
atau juga bisa memberikan kesumpekan baru karena ilalangku yang meninggi
dan menciptakan kotoran baru buat klian. Sudahlah, aku pangku saja
kenyataan ini. Bila, aku pangku saja kenyataan ini. Bila aku hanya sebatang
rumput. Dengan begitu, mungkin aku bisa memahami kehidupan ini apa-adanya.
Ternyata, jelek-jelek begini—toh, aku bisa berkhasiat pada dunia!


Related Posts with Thumbnails