NOSTALGIA ANAK BANGSA
Cerita ini sesungguhnya pernah terjadi. Dalam masa kebebasan ini sudah sepantasnya bila hal apapun bisa diangkat dan dikisahkan kembali. Apalagi sejarah memang sudah betul-betul berubah, seakan kopi yang sudah mendingin namun masih manis untuk diseruput sebagai teman berbincang, sejarah pun mirip dengan itu. Tapi sejarah bisa lebih manis dan juga bisa lebih pahit dari kopi, karena sejarah bisa mengajarkan sesuatu yang berbeda dengan masa kini. Sejarah mengulas banyak inti dari kisah masa lalu yang bisa jadi berupa penyesalan atau pelajaran yang tak terlupakan rasanya buat orang yang pernah mengalami dan memahami. Begitu juga sejarah yang dimiliki oleh para aktivis Timor Lorosae. Dahulu, perjuangan yang dilakukan oleh para aktivis Timor Lorosae memang sangat konsisten. Seperti halnya perjuangan kemerdekaan di setiap tempat di bumi persada ini, semua pihak dari orangtua hingga bocah turut terlibat di dalam perjuangan itu. Tak hanya para suami, kaum istri dan anak pun diajak untuk terlibat dalam perjuangan. Tak jarang, perjuangan itu sampai membentuk organisasi di setiap daerah di Indonesia. Itu aku ketahui karena aku juga pernah melibatkan diri dalam perjuangan semacam itu, walau berbeda, namun aku tetap menaruh simpati terhadap perjuangan yang mereka lakukan. Apalagi bila perjuangan yang dilakukan karena misi kemanusiaan dan pembebasan terhadap berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan. Singkat saja kisahnya, suatu ketika aku berniat bertemu dengan seorang kawan, yang juga seorang aktivis Timor Lorosae. Jelek-jelek begini sudah aku katakan kalau aku punya juga banyak kawan pergerakan. Namanya Dominggus. Tujuanku ke rumahnya mulanya juga hanya untuk berbincang sebentar – selain tentu saja untuk menambah bahan tulisan buat majalah di organisasiku tentang sejarah Timor Lorosae. Ya, untuk jadi wartawan seseorang harus melatihnya sejak masa studi. Tentu saja wartawan di pergerakan lebih mengarah pada usaha pergerakan sosial ketimbang bicara tentang profesi. Aku sudah siap dengan bentuk berita profil atau sejarah atau kisah perjuangan secara praktek pada para kawan yang terlibat langsung dalam perjuangan itu. Namun, siapa yang menyangka bila kedatanganku itu akhirnya disambut oleh seorang wanita dengan wajah yang beku. Beku tapi cantik.
Hebat, Dominggus punya adik yang cantik di rumahnya – semoga Dominggus mengakuinya sebagai adik karena setahuku dia sudah punya calon istri. Masak dia mau dua, serakah sekali bila itu benar terjadi. Sungguh, gadis yang benar-benar manis khas orang Portugis. Tapi kulitnya tidak seperti kulit orang Portugis – aku suka putih yang agak kekuningan. Barangkali juga dia memang darah campuran dengan orang Tetum. Bajunya berenda, roknya panjang hingga melewati betis, warnanya merah menyala. Tak usah dia pakai warna merah pun, gadis ini sudah nampak cantik. Kata-kataku barusan ingin melompat karena keingintahuan yang menyala-nyala ketika Dominggus cepat menyorongkan jarinya di depan mulut: “Ssst, diam. Sudah tahu aku tingkah-lakumu. Jangan macam-macam dengan pertanyaanmu, itu mamanya. Mereka memang sedang bersembunyi disini. Dia dan mamanya barusan dari Jakarta. Suaminya masih dipenjara karena gerakan Timor Leste,” kata Dominggus. Seketika niatku surut dan berujung pada rasa malu tak terhingga. Bayangan tentang para tentara menghadapi ratusan orang sipil terkapar karena tembakan segera terhidang di depan mata. Sekarang, aku baru mengerti duduk persoalannya. Untungnya, ibu atau “mama” yang bijak itu kemudian memandangku bukan dengan tatapan yang gelisah. Kedatanganku disambutnya dengan tatapan akrab dan tidak khawatir. Barangkali karena jaminannya adalah Dominggus. Atau gayaku meyakinkan sebagai seorang aktivis. Kusut, kumal, percaya diri dengan tas lusuh dan berat. Yang jelas, dia begitu percaya pada Dominggus karena Dominggus pemimpin gerakan mahasiswa Timtim di daerah ini. Temannya Dominggus berarti temannya juga. Karena itu enteng saja dia menyapaku.
“Kamu asli mana?”
“Nusantara,” jawabku kalem. Dia berkerut kening karena ucapanku. Cepat-cepat aku meralat, segera menyusulnya dengan menyebutkan asal-usulku. Seorang asli Sumatra, kelahiran Jakarta, yang kebetulan berkuliah di kota ini melalui ujian perguruan tinggi negeri. Percakapan mengalir lancar kembali antara Dominggus dan mama Dorothy. Tampak gurat ketuaan tak bisa menyembunyikan sisa-sisa kecantikan di wajahnya. Dari gurat itu, ada juga sisa kelelahan masih menggantung. Terkadang nafasnya agak dihembuskan saat wanita tua ini bercerita tentang suaminya. Pada suatu ketika, si anak yang berpapasan dan membukakan aku pintu tadi, muncul dan ikut duduk di hadapanku.
“Ini anakku, anak muda. Laurena,” kata mama Dorothy. Si anak mengangsurkan tangannya yang berdesir hangat mengalir ke kepalan tanganku. Tapi aku jengah juga menyadari kedukaan keluarga ini. Apalagi sejak tadi ada saja sebutir-dua butir airmata mengalir dari pelupuk matanya yang berkerut dan agak membentuk sebuah kantong kecil. Matanya berkaca dan agak memutih. Rambutnya yang putih mirip bunga-bunga pohon jambu. Dorothy berbicara dan membuatku terhanyut tentang kisah perlawanan suaminya sejak dulu. Alfonz, suaminya, adalah kepala pergerakan di wilayah mereka tinggal. Sebagai istri, Dorothy pun ikut dalam gerakan itu. Namun sebagai istri dia tak berani terlihat verbal karena harus melindungi kedua anak perempuannya. Seorang anaknya laki-laki sudah lama ikut dalam pergerakan dan dia tidak perlu menjaganya karena anaknya merasa perhatian yang berlebihan justru dapat menjadi beban.
“Saya baru dari menjenguk suami di penjara. Tapi tak sempat bertemu. Mereka kejam, tak diperbolehkannya saya melihat suami saya walau pun sekejap,” desah Dorothy lemah. Perempuan ini mengaku tak aktif lagi di pergerakan, tapi kegiatannya yang bertugas sebagai relawan hak-hak perempuan pun dipandang sebagai aktivitas terlarang. Namun Dorothy tak yakin kalau larangan dia menjenguk suami kemarin karena persoalan itu. Pasti karena tujuan utamanya memang untuk menahan suami lebih lama dan melumpuhkan gerakan yang telah mereka lakukan sejak lama. Yang lebih tragis, Laurena bahkan ingin menemui papanya setelah sekian tahun ingin bertemu dengannya. Sejak dia bersekolah di sekolah lanjutan pertama, hanya satu dua kali setahun dilihatnya sang papa. Setelah itu, papanya kembali menghilang. Berjuang. Kedatangannya menemani mamanya ke Jakarta justru untuk bertemu sekaligus untuk mengabarkan dan minta ijin. Laurena berniat menikah dengan pujaan hatinya. Namun tampaknya petugas tak mau mengerti sehingga terpaksa perjalanan mereka sia-sia. Menurut petugas, mereka bukan tak diperbolehkan bertemu. Hanya saja, pertemuan itu diminta untuk ditunda beberapa waktu lagi. Padahal untuk menunggu lama tak mungkin karena mereka tak ada kerabat di kota itu. Terpaksa mereka akan pulang. Dorothy bercerita juga tentang kisah-kisah dia sebagai pejuang gerakan wanita.
“Itu adalah gerakan yang sama sekali tidak menyebarkan niat untuk memisahkan diri. Ini bukan sebuah gerakan politik,” katanya. Kalau dipikir, semua niat Dorothy memang tak sepantasnya ditentang. Karena yang dibicarakan oleh Dorothy justru adalah soal adat-budaya pada suku Timor yang patriarkhis --- terjadi juga di setiap suku di Nusantara, pada Batak atau Jawa misalnya. Namun anggapan negatif memang sudah cenderung dipasang oleh pihak penguasa sehingga mereka salah dalam menilai aktivitas Dorothy.
“Karena peristiwa itu, suami saya pun makin tak bisa tunduk. Mulanya saya ingin agar Alfonz mengurangi kekerasan jiwanya supaya mereka tak bertindak keras pada suami saya. Namun tindakan tak menentang yang dilakukan Alfonz tetap saja tak membawa hasil. Suami saya masih saja dikasari, apapun yang saya lakukan di Timor selalu mengundang protes,” katanya. Dorothy juga menceritakan bahwa gerakan yang dia lakukan bersama para kaum ibu di Timor bahkan didukung oleh jaringan internasional. Persoalannya, menurutku, bisa jadi pihak penguasa khawatir gerakan gender ini bisa membocorkan banyak informasi tentang tindakan biadab yang sudah mereka lakukan sejak lama di bumi Lorosae.
“Mereka cuma merasa khawatir, itu saja sudah cukup jadi alasan mereka menekan. Bukankah sejak dulu mereka menekan sekalipun kadang persoalanya nyaris tanpa alasan,” ujarku.
“Tapi gerakan kami itu bicara soal gerakan gender di lingkup internasional,” kata Dorothy.
“apa mereka tahu?” “Mereka tak perlu tahu dan tak mau tahu,” kataku meyakinkan. Aku segera menatap Dominggus. Dominggus memegang tangan mama Dorothy yang mulai sesenggukan. Aku ikut merengkuh tangan yang mulai berkeriput itu.
“Sudahlah, Ma. Istirahatlah dulu dengan Lauren,” kataku seperti barusan dibaptis menjadi anaknya sendiri. Aku begitu terkesima dan iba dengan perjalanan jauh mereka. Namun cerita semacam ini sudah sering kudengar dan kerap mengundang keperihan bagi setiap orang yang mengalaminya. Beberapa hari setelah peristiwa itu, aku tak melihat lagi mama Dorothy dan Lauren di rumah Dominggus. Menurut Dominggus, mereka pasti akan pulang. Namun untuk sementara waktu masih di kota ini dan dipindahkan lagi ke tempat lain agar tak mudah terlacak oleh para informan dan militer. Dominggus menyebutkan tempat mereka. Namun aku mengerti bagaimanapun mereka akan merasa lebih aman bila tak ditemui oleh orang lain. Aku adalah seorang aktivis yang membuat majalah tentang kisah mereka. Namun hanya kusebutkan saja nama inisial mereka. Tempat dan tujuan juga kusamarkan. Kusuguhkan sebuah profil tak jelas namun sangat kentara mengangkat persoalan tekanan politik yang terjadi pada sebuah keluarga di Timur Lorosae. Yang cukup mengagetkanku justru beberapa bulan setelah peristiwa kudengar akhirnya suami Dorothy telah wafat karena tekanan bathin yang dideritanya. Dorothy tetap saja berkeras dalam aktivitasnya soal gender. Baru kemudian aku tahu, perjuangan gerakan itu ternyata tak sekedar bicara gender namun membahas juga persoalan kekerasan yang dilakukan oleh para tentara terhadap kaum perempuan di Timor Lorosae. Tak hanya yang dibunuh, ditinggalkan oleh keluarga dan anak-anaknya namun juga yang mengalami pemerkosaan diam-diam. Hanya Dorothy yang kuketahui ceritanya. Lauren, seorang putra dan putri Dorothy lainnya tak kuketahui bagaimana kisah mereka selanjutnya. Apakah Lauren jadi menikah atau batal karena restu bapaknya belum didapatkan atau tetap menikah hanya atas restu sang mama. Yang jelas, perjuangan mereka akhirnya berakhir setelah Timor Lorosae merdeka. Oleh Dominggus, aku dikabari salam kalau Dorothy sangat mengharapkan kedatanganku ke negaranya yang baru berdiri itu. Dia ingin aku tetap berjuang tentang kemanusiaan bagaimanapun bentuk dan caranya. Dominggus, yang kini sudah punya anak itu pun, bilang kalau aku sebaiknya cepat saja menikah dan jangan jadi lajang melulu. “Tapi jangan harapkan kebaikan Dorothy mengundangmu kesana karena akan menjadikanmu sebagai menantu. Lauren tak mengharapkanmu, dia sudah menikah dan punya anak usia setahun. Kau bagaimana, bujang lapuk, masak kau harus menunggu bayi Lauren besar dan menikah dengannya?” kata Dominggus, tertawa mengejek. Aku pura-pura meringis. Dalam bathinku, kuangankan tentang negeri Timor Lorosae dapat kukunjungi suatu saat. Barangkali saja ada wanita cantik berwajah portugal dengan kulit kekuningan akan dapat kukenal disana.