PILIHANMU
Anna merasakan tubuhnya perlahan-lahan melayang. Jauh... jauh... tinggi... hilang...? tidak.
Bangun, stupid.
Ia membuka matanya. Lamat-lamat. Pelan... pelan...
Aduh, silaunya cahaya lampu sialan itu. Shit!
Kepalanya terasa kosong. Kosong? Tunggu, bukan. Kepalanya terasa... ringan...
Ringan, sayang
Dengan sayapmu aku terbang ke awan
Kutatap langit biru di atas
Dan kuhirup udara segar di dada
Kunikmati
Kebahagiaanku yang hanya sesaat
Dijatuhkannya kepalanya ke belakang. Anna berbaring diam-diam. Seakan tiap gerakan akan meruntuhkan tubuhnya.
Seperti inikah rasanya mati?
Hampa...?
Ia tersenyum. Senyum yang kosong. Bagaikan jiwanya sekarang. Sesuatu mulai mengisi dirinya perlahan. Lambat. Begitu lambat. Selambat aliran darahnya yang seakan-akan hanya merayap memenuhi pembuluh. Seakan hanya formalitas saja, hanya status, bahwa dia masih hidup.
Apa hanya sebegini saja hidupku?
Bila kulihat ke segala arah dan kucari kebahagiaan,
Yang nampak hanya kesulitan, kekosongan, dan rasa bersalah.
Tak terasa air mata mulai menetes di pipinya. Pikirannya yang capai mengembara, hanya mencari dan tidak menemukan. Menciptakan bayangan.
Iya, benar ya?
Hanya masalah saja isinya hidupku.
Begitu berat rasanya bebanku.
Ketika kutoleh dan mencari sumber kekuatanku
Hanya kutemukan kehampaan.
Apa hanya sebegini saja hidupku?
Ibunya sedang pergi. Entah kemana, ada urusan sama keluarga besar di kampung katanya. Oomnya yang norak itu ribut soal warisan. Dan terpaksalah Ibunya Anna yang turun tangan lagi. Meninggalkan keluarganya sendiri yang masalahnya sebenarnya tidak kalah besarnya.
Tadi sore Ayah juga pergi kok. Dinas, katanya. Anna telan saja bulat-bulat alasan itu. Terserah ayahnya kok mau pergi kemana. Minta ijin Anna saja tidak perlu. Ayahnya kan sudah dewasa. Tahu apa yang terbaik untuknya sendiri.
Pembantunya. Hhhh... tidak usah dibahas, dia sebagian besar hanya perwujudan kemalasan dan kebodohan. Potret bangsa Indonesia. Melihat dia setiap hari rasanya membuat Anna ingin pasang kacamata kuda saja. Mau memberitahu Ayah dan Ibu soal ini juga, tidak mungkin. Orangtuanya saja tidak mau berbicara satu sama lain.
Adiknya. Sudah tiga hari pulangnya malam terus. Hus, tapi jangan berpikir yang macam-macam dulu. Adik hanya ke sekolah kok, kak. Adik hanya mengurus ekskul. Iya, ekskul adik Minggu ini ada simulasi, pertandingan se-Jakarta Selatan.
Dan jadilah, teman ngobrolnya yang paling setia itu sudah 4 hari tidak mengucapkan satu kata pun padanya. Ketemu saja sudah untung, kalau pagi Anna berangkat sekolah dia hanya bisa melihat adiknya yang tidur lelap – baru bangun nanti jam 9 pagi – dan menyimpan segala keinginan untuk berbagi cerita.
Ringo. Huff... untuk yang satu ini Anna perlu menghela napas lagi. Ringo jadi aneh belakangan ini. Dia jadi sering tertawa sendiri tanpa sebab dan jadi rajin sekali sekolah. Dia menyimpan rahasia dan membuat kesan seakan menutup-nutupi sesuatu. Sebenarnya tidak perlu. Anna tahu. Ringo sedang jatuh cinta.
“gue ditelpon cewek, dong...”
“ah...”
“hehe... kalau nanya daftar pelajaran, itu basa-basi bukan sih, Na?”
“hmm...? iya, mungkin. Tjieee... yang ditelpon... suitt suitt...”
“Anna, jangan ngomong gitu! ge-er nih! Hahahaa...”
Tahukah kau, betapa kau menyakitiku?
Kau tertawa, tapi tawa itu bukan milikku.
Ajari aku untuk tertawa seperti itu, kasih
Karena setiap keping tawamu merobek hatiku.
Ya, tidak perlu berbohong lagi. Anna menyadarinya. Di dalam hatinya, sekali lagi ia menangis, apakah semua orang benar-benar meninggalkannya. Ia mendekap erat bantalnya, mengusap wajahnya yang sudah basah, menutup pelan-pelan matanya yang membengkak.
Aku melihat dua orang bersama, sayang
Matamu bersinar karena bahagia dan begitu pula dia
Kebisuanmu telah mengatakan semuanya
Kau mencintaiku, tapi kau jatuh cinta padanya
Dan Anna pun kehilangan segala pegangannya. Ia limbung. Semuanya seakan menghindarinya. Menjauhinya. Untuk sekali ini dalam hidupnya, dia merasa sangat kesepian...
***
Jadi disinilah Anna sekarang. Kembali di tempat tidurnya. Sendirian. Ia mengusap kepalanya. Pening. Tengkuknya basah karena keringat. Padahal tangannya sedingin es. Dijulurkannya lidahnya. Mulutnya terasa asam. Mual. Ia berpikir, apa saja yang sudah masuk perutku dari pagi ya? Diangkatnya tangannya. Gemetar. Dibukanya telapaknya.
Teh manis, roti dua gigit, obat...hmm...
Sudah, hanya itu saja yang dapat diingatnya. Perutnya bergolak, protes tidak diberi supply. Tanpa sadar ia meringkuk perlahan. Mau bagaimana lagi, pikirnya. Kalau ada makanan yang bisa kupaksa masuk pun, akan keluar lagi karena mualnya. Malah tambah pusing dan berkunang-kunang segala. Mau bangun dari tempat tidur, ia takut. Kepalanya benar-benar harus ditaruh di suatu tempat kalau mau pergi-pergi. Rasanya sudah penuh beban.
Jadi kamu mau apa sekarang?
Mau mati.
Anna tersentak sesaat menyadari pikirannya sendiri. Stupid, idiot. Sebegitu gampangnya kamu dibodohi kehidupan? Ia menarik nafas panjang. Pikirkan sesuatu yang bahagia, ulangnya dalam hati.
Haha. Lucu. Pikirkan apa?
Anna terdiam. Tidak, pikirnya. Semua ini harus berakhir suatu saat. Entah akan lebih baik atau lebih buruk jadinya, yang penting ia harus berusaha. Sungguh? Masih sanggupkah ia?
Api kecil itu seakan menjerit lirih
Tolong, tolong lindungi aku dengan kedua belah tanganmu
Angin kencang menghembusku dari segala arah
Memukuliku dengan kepakan-kepakannya
Aku masih ingin bertahan, kata api kecil itu
Tapi suara yang lebih kecil lagi di hatinya terdengar bertanya
Masih maukah kau bertahan, api
Dan sampai kapan kau akan bertahan
Karena badainya belum akan berakhir
Dan akan selalu ada
***
Semua orang pasti punya hari-hari terberat, tergelap, tersulit dalam masa hidupnya. Orang optimis akan berkata “hidup hanyalah bagaimana caramu menghadapinya!” sedangkan yang pesimis akan berbisik “buatlah pilihan yang tepat, karena akan mempengaruhi seluruh hidupmu.”
Termasuk yang manakah Anna? Dia memulai sebagai orang yang polos, riang menghadapi segala rintangan. Di balik setiap kesulitan ada senyum dan kebahagiaan. Tapi cobaan yang ini, merenggut segala pegangan hidupnya. Dan Anna berubah menjadi orang yang sama sekali lain.
Yaitu mereka yang lahir optimis, ingin menikmati hidup tapi menemukan bahwa dunia bukanlah tempat yang mereka impikan. Dan mereka tidak dapat merubah kenyataan. Sebagian berubah menjadi pesimistis yang menggerutu, survive dan menjalani hidup yang kosong. Sedangkan sebagian lagi tidak selamat. Hilang dalam keindahan jiwa. Jatuh bagai bunga di musim gugur. terbawa angin entah kemana. Terinjak dan terlupakan.