Waktu
Namaku tertera dalam darah diatas perkamen tua menguning yang dimandikan cahaya matahari dari lubang jendela. Cahaya - cahaya yang bermain dan memantul antara butir-butir debu yang sejenak terlihat mampu membebaskan diri dari belenggu gravitasi. Aku terduduk saja di kursi mahoni dengan jok beludru marun yang umurnya mungkin lebih tua dari umur kakekku, atau bahkan buyutku. Memandangi perkamen itu. Diatas namaku tertera beberapa rangkai huruf yang berusaha membentuk makna tetapi kemudian tertelan lagi oleh gaung-gaung angin di atap dan decit-decit segala macam perkakas dan segala macam engsel yang begitu tuanya hingga tak mungkin kita mendayagunakannya tanpa membuat mereka rompal.
"Benda-benda memiliki daya aneh untuk mematikan dirinya sendiri,"kakekku pernah berkata, beberapa malam sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya. Dan entah mengapa, kini, di ruangan renta ini, suara beliau itu terdengar jauh lebih jelas dibanding ketukan dahan pohon diatas kaca jendela yang sebenarnya tak pantas lagi disebut kaca karena ia kehilangan sifat tembus-pandang nya.
"Tiap benda saling menyayangi," ibuku sekali waktu pernah berkata.
"Itu sebabnya rumpun bunga mawar diatas pusara nenekmu begitu cerah warnanya, nenekmu memberikan tubuhnya untuk dimakan." Aku, saat itu tentu saja hanya bisa mencoba mengerti. (sejenak aku pikir ibuku gila, mana mungkin bunga makan manusia?) Air tanah melukisi kaki dinding rumah ini dengan lumut hitam. Segurat demi segurat. Mungkin kakekku yang berbicara melalui lukisan itu, mungkiin ibuku, entahlah. Foto ayah bersama teman-teman berburunya sudah lebih kuning dan penuh bercak dibanding daun-daun mati yang tertumpuk dan berserak di halaman. Rumput-rumput yang bercerita dengan menutupi setapak jalan ke arah gerbang karatan yang asik bercengkerama dengan tetumbuhan rambat. Ayah hilang ketika berburu. Dan foto itulah yang terakhir ditemukan oleh orang-orang desa yang mencarinya. Dan hanya dari foto itulah aku bisa menggambarkan muka ayah di mimpi-mimpiku. Aku terlalu kecil untuk mengingat. Daun-daun mati berdendang dan menari diiringi musik angin kering.
Entah berapa lama di ruangan ini aku duduk. Toh waktu tak lagi punya banyak pengaruh untukku. Karpet kusam dari kulit harimau yang didapatkan ayah ketika berburu dulu itu paling tidak kini m