KEMBALI
Sejenak langit berubah hitam, dan semuanya kembali seperti semula………
Diam diantara dua sisi, hitam dan putih lalu bertanya tentang semua hal yang ada atau yang tak ada, dalam bayangan pagi yang selalu menghantui, yang selalu menanyakan apa yang akan terjadi, yang selalu berharap hari ini lebih baik dari hari kemarin. Dia termenung dalam ruangan kamarnya yang tidak begitu luas, dalam ruangan kamarnya yang dipenuhi poster-poster musisi, poster artis, poster ulama, tokoh atheis dan segala orang penting dunia yang telah membuat dunia ini berubah, yang telah menciptakan sebuah kebudayaan dunia ini. Di sebelah kiri samping pintu terdapat sebuah rak buku yang dipenuhi buku-buku tentang apa saja, disampingnya beberapa tumpukan cd dan kaset yang dilengkapi dengan sebuah tape bermerk, lalu di depannya terdapat tempat tidur yang tak pernah tertata rapi, disampingya lemari pakaian abad pertengahan,
Dan di sisi sebelah kanan yang menghadap jendela, sebuah meja bergaya modern terletak dipenuhi kertas-kertas coretan dan satu unit komputer, tempat dimana dia sering menghabiskan waktu.
Pagi ini dia terbangun karena bermimpi tentang sesuatu yang tak pernah dia lihat sebelumnya, dia bermimpi tentang seorang anak kecil dan seorang kakek. Sang anak kecil bertanya padanya “Pernahkah kau merasakan sebagai anak kecil ? “
“Pernah “ dia menjawab.
“Lalu apa yang kau rasakan ? “
“Sebuah kedamaian, sebuah dunia tanpa beban “.
“Benarkah itu yang kau rasakan ? “
“Ya, kira-kira begitulah yang aku rasakan.”
“Apakah kau ingin kembali merasakan itu ? “
“Ya, aku ingin sekali kembali merasakan semua itu.”
Lalu tiba-tiba seorang kakek-kakek muncul, dengan senyuman dan tatapan yang bijaksana. Sambil terus menerus mengelus-elus jenggotnya, dia berkata.
“Hal apa yang telah terjadi hingga kau mengingikan kembali kepada dunia itu wahai anakku ? “
“Aku merasa bukan siapa-siapa, aku merasa tidak punya apa-apa, disini aku selalu berharap menjadi seseorang yang bisa dikenang tapi aku tak mampu, mereka malah mencemoohku.” Dia menjawab sambil menundukkan kepala.
“Oh …ternyata kamu seorang atheis…..” Si kakek bergumam, namun dia langsung memotong.“ bukan aku bukan seorang atheis, aku orang yang percaya pada tuhan, apa kakek tidak melihat ? Banyak kaligrafi di kamar ini dan sajadah juga ada.” Dia membela diri.
“Ya, aku melihatnya dan aku tau kamu rajin menjalankan shalat lima waktu, aku tahu itu. Tapi bagiku seorang yang tidak percaya akan kemampuan dirinya sendiri tidak lebih dari seorang yang tidak percaya akan adanya tuhan. Karena jika kamu benar-benar percaya pada tuhan, kamu harus percaya bahwa dia punya sebuah rencana untukmu,dan rencana itu akan terwujud jika kamu mau menuangkannya dalam tindakanmu.”
“Tapi aku sudah berusaha, semua yang ku lakukan sia-sia.”
“Hanya orang bodoh yang berkata seperti itu, ingatlah anakku tak ada sesuatupun di dunia ini yang sia-sia, semua yang terjadi itu pasti ada alasannya, ada hikmahnya.”
“Ah…bullshit, kenyataannya semua tak menghasilkan apa-apa.”
“Jika kamu memulai sesuatu selalu mengharapkan hasil, maka kamu akan terus tenggelam dalam angan-angan, kamu akan selalu berkhayal dan hasil yang kau harapkan akan pergi menjauh darimu. Kamu harus melalui sebuah proses untuk menghasilkan sesuatu.”
“Tapi aku telah menjalani semua proses itu dan hasilnya apa?”
“Itulah, kamu menjalani proses karena kamu selalu membayangkan hasil, jika terus seperti itu akan percuma. Satu hal, jika kamu telah berproses dan hasil itu buruk, maka pelajarilah, lihatlah dimana kesalahan prosesmu itu, tapi jika hasilnya baik, ingat ada tuhan yang selalu mendampingimu.”
Lalu si anak kecil, berlari-lari kesana kemari dan dengan tampang polos dia berteriak-teriak “Aku damai….aku damai…..”
“Aku ingin merasakan damai seperti itu, seperti anak itu.” Dia berkata dengan sorot mata yang penuh harap.
“Kamu menginginkan kedamaian seperti anak itu ?”
Dia hanya mengangguk kecil.
Kakek tersenyum lalu dia kembali berkata “Anak kecil merasakan suatu kedamaian karena mereka belum punya angan-angan, yang mereka tahu dunia ini diciptakan untuk mereka bermain dan itulah yang mereka ketahui.”
“Lalu mereka kan tumbuh, apa mungkin mereka tumbuh tanpa angan-angan ?”
“Itulah proses, angan-angan itu muncul setelah mereka berinteraksi dengan lingkungan, dan semuanya itu tergantung pada peran kedua orang tuanya, bukankah seorang anak itu dilahirkan masih dalam keadaan suci, tergantung orang tuanya yang akan menjadikan dia muslim, nasrani ataupun atheis.”
Dia terdiam lalu mengambil sebatang rokok dan menyalakannya.
“Dan hasilnya ?” Dia kembali bertanya
“Hasilnya seperti yang terlihat pada orang yang seusia denganmu, remaja dan dewasa.”
Si kakek kembali menyambung omongannya “ setelah mereka berproses dengan lingkungan itulah, mereka menjadi punya pikiran dan pikiran itulah yang kemudian menjadikan sebuah angan-angan timbul dan kembali mereka berproses.”
Dia kembali terdiam, matanya menerawang jauh ke depan, dan menatap anak kecil yang kembali bermain. Lalu dia kembali bergumam “ aku hanya ingin damai…”
Si kakek hanya tersenyum dan kemudian dia duduk di hadapannya.
“Damai …..kamu selalu menginginkan damai, jika damai yang kau harapkan terwujud di dunia ini adalah kedamaian seluruh dunia, maka damai yang seperti itu takkan pernah kembali terwujud, bukannya pesimistis, tapi kedamaian itu takkan terwujud selama manusia dalam mengejar angan-angannya selalu bertumpu pada hasil dan tak peduli lagi dengan baik dan benar, kedamaian seperti itu hanyalah angan kosong.” Kakek kembali membuka pembicaraan.
“Tidak kedamaian itu akan terwujud, itu hanyalah omongan orang pesimistis”
“Pesimistis kamu bilang ?” Si kakek tertawa lebar, “ bukankah dari tadi kamu yang pesimistis, jelas omongan itu takkan keluar dari mulut orang pesimistis, karena orang pesimistis itu akan membunuh angan-angannya selagi masih dalam pikirannya.” Kakek mengambil cerutunya lalu kembali melanjutkan “ rasional, tepatnya itu sebuah pikiran yang rasional, karena disertai alasan dan melihat pada realita, toh kenyataannya kampanye perdamaian digembar-gemborkan, tapi……kamu bisa melihatnya kan?”
“Jika kedamaian yang kau inginkan seperti anak kecil itu, maka hal itu bisa terwujud dan akan mudah sekali hal itu terwujud.”
“Bagaimana caranya ?” Dia bertanya dengan semangat
“Kedamaian itu sumbernya dari jiwa, jika kamu selalu bisa menerima kenyataan, sepahit apapun itu kenyataan dan pasrahkan jiwamu hanya pada sang pemilik jiwamu, maka kedamaian itu dengan sendirinya akan terwujud, dan segalanya itu bersumber dari hati.”
“Dan aku lihat kamu memandang dunia ini menurut apa yang ingin kau lihat terjadi, bukan apa yang sesungguhnya terjadi.” Si kakek berhenti berkata lalu dia berjalan menuju jendela dan melihat ke langit. Sementara dia termenung memikirkan kalimat si kakek, sambil terus bertanya dalam hati “ Benarkah aku memandang dunia menurut apa yang ingin kulihat terjadi, bukan apa yang sesungguhnya terjadi ?”.
Si kakek kembali bertanya “ jika kamu melihat seekor kupu-kupu yang terbang melayang-layang di sekeliling sebuah lentera sampai ia sendiri mati dan seekor tikus yang selalu hidup dalam terowongan gelap, yang manakah diantara mereka yang lebih baik ?”
“Tentu saja seekor kupu-kupu.” Dia menjawab begitu saja, tanpa berpikir.
“Nah nyatanya kamu tahu, lalu kenapa kamu memilih menjadi seekor tikus yang selalu hidup dalam terowongan gelap ?”.
Dia hanya terdiam tidak bisa menjawab pertanyaan si kakek.
“Dan jika kau melihat anak kecil itu yang damainya ingin kembali kau rasakan, itu hal yang wajar dan jangan pernah kau tinggalkan kenangan itu untuk membangun suatu impian, janganlah pernah berhenti bermimpi dan berangan-angan dan perbaikilah masa kini, apa yang datang kemudian juga akan menjadi lebih baik.”
“Terima kasih kek, atas semua nasihatnya.”
“Tidak perlu berterima kasih padaku, tapi berterima kasihlah pada sang pencipta yang telah mengijinkan kamu bermimpi, dan aku berpesan padamu, belajarlah mengajar dirimu sendiri dengan mengoreksi perbuatan-perbuatanmu sendiri, jangan pernah kamu mengajar orang lain dengan mengoreksi perbuatan-perbuatan mereka sebelum kamu melakukan hal itu pada dirimu sendiri.”
“ Terima kasih kek, tapi aku masih bingung dengan semua ini.”
“ Merasa bingung adalah awal dari pengetahuan, renungkanlah semua yang telah kamu pelajari hari ini. Jika menurutmu baik ikutilah, jika menurutmu tidak tinggalkanlah.”
“ Dan jika kamu berhasil dalam semua impianmu, ingatlah bahwa kamu tidak lebih tinggi daripada orang kerdil dan tidak pula lebih kecil daripada raksasa, tempatkanlah dirimu dimana seharusnya kamu berada.”
“ Ya, aku akan maju.”
“ Benar, kemajuan bukanlah semata-mata perbaikan dari masa silam; kemajuan adalah bergerak maju mewujudkan impian”
“ Aku akan maju dan jika aku berhasil aku akan menemuimu kelak.”
Mendengar ucapannya, si kakek tampak kecewa.” Jika kamu mulai menjanjikan apa yang belum kamu miliki, kamu akan kehilangan hasratmu untuk bekerja guna mendapatkannya. Ingatlah berusaha tanpa memikirkan hasil, lagipula kamu tak perlu mencariku karena aku hanya ada dalam mimpimu, kamu tak akan bisa mencariku, tapi aku dengan mudah bisa menemuimu, dan itu jika aku rasa perlu. Sekarang bangunlah.”
Dan tiba-tiba dia terbangun di pagi ini karena bermimpi sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya, sebuah mimpi yang seperti nyata dan yang membuatnya benar-benar terbangun di pagi ini, di kehidupan ini, di alam semesta ini, pada sebuah titik kecil di sebuah bola besar di antara ribuan bola-bola besar lainnya. Diantara ribuan impian yang nyata dan yang tak nyata, diantara semua tipu daya, diantara seribu pertanyaan, seribu kemungkinan, seribu warna, seribu cahaya, dia terbangun lalu menatap langit yang penuh keagungan sambil bersyukur dan terucap seribu maaf, seribu tetesan air mata.
Dia terbangun dengan mata bercahaya, merenung sejenak dan tersenyum, ternyata langit hitam sejenak dan semuanya kembali seperti semula, cerah, tak ada lagi mendung dalam kerutan dahinya yang belum tua dalam usia beranjak dewasa.
…………..langit cerah, tinggalkan mendung.