Mistery Terbaru

Minggu, 11 Oktober 2009

''Kisah Si Anak Sepi''

Kisah Si Anak Sepi

Di malam yang dingin, dengan rintikan hujan membasahi permukaan mayapada, didaerah sepi ini. Seorang anak sepi, menerobos jeruji hujan dan gelap malam. Menembus tanpa perduli serangan "kegelapan" dan peluru-peluru air menerjang tubuhnya. Manusia-manusia, sedari tadi, sudah lelap dalam buaian mimpi. Jiwa-jiwa telah mengayuh impian mereka ketempat-tempat yang mereka dambakan.

"Aku belum siap....malam..., aku belum siap untuk menghadapi dunia lena.Aku adalah manusia biasa, yang belum punya kemampuan dan tameng-tameng penjaga yang tidak bisa ditembus. Aku belum siap untuk hanyut dalam dunia 'lena'". ucapnya mengadukan masalahnya pada kegelapan malam. Kegelapan malam, terdiam seribu bahasa, menjawab semua keraguan dan pengaduan, anak sepi itu.

"Lenyapkanlah...., hilangkanlah. Jangan kau ragu, acuhkanlah, itu bukan untukmu. Jangan kau sambut tawaran kebohongan dari dunia lena. Ingat !, dulu engkau sempat menenggelamkan dirimu kedalamnya dan....kemudian, apa yang kau dapat? Berulang kali kau pergi kepadaku dengan tetesan air mata pilu". sahut, kegelapan malam menjawab pengaduan anak sepi.

"Tapi...malam, apa yang harus kulakukan ?, apakah aku memagari diri dengan tembok-tembok kebisuan atau meninggalkan semuanya dalam sayatan silet yang penuh damai ?".

"Terserah padamu semuanya, kamulah yang berhak menentukan apa yang betul-betul tepat untuk dirimu...". Anak sepi, pergi dengan seribu amunisi untuk menghadapi dunia 'lena', ia melangkah pasti, seolah menantang rintikan hujan dan kabut dingin malam. Dilewatinya asap-asap racun dan cairan-cairan amis, kolam anggur yang teramat dalam serta asap-asap setan belang yang siap mengurung siapa saja yang mencoba untuk mendekatinya. Sudah lumayan jauh, kaki-kaki kecil si anak sepi merancah jalan-jalan nista, dunia ‘lena’ lah yang ditujunya. Ia sudah memutuskan untuk menolak semua bentuk ajakan, bujukan dan rayuan yang dilancarkan oleh dunia ‘lena’.

***

Nun jauh disana...Para petinggi dunia 'lena' pun sudah mempersiapkan bius-bius ampuh dan digdaya untuk melumpuhkannya. Pertemuan mendadak pun diselenggarakan oleh mereka, yang membicarakan strategi dan taktik yang jitu bagaimana menganyam jala-jala untuk menjaring si anak sepi. Mereka, butuh darah dan air tubuh si anak sepi untuk kelanggengan kehidupan mereka. Pemimpin tertinggi dunia 'lena' membuka pertemuan, "Salam...saudara-saudara sekalian, para petinggi dan penghuni dunia lena. Kali ini kita semua, dihadapkan pada suatu masalah, yang kalau dibilang kecil tidak pantas dan kalau dibilang besar tidak layak juga. Saat ini, dunia 'lena' tengah diterjang bencana yang melumpuhkan semua aktivitas kita. Persediaan air sepi, yang kita punyai sekarang mulai menipis, diterjang badai. Tapi...itu bukanlah akhir dari kehidupan dunia 'lena'. Ketahuilah, kita masih punya harapan terakhir, saat ini persediaan itu kembali melangkahkan kaki-kaki kecilnya, menuju pada tempat kita. Darah dan air si anak sepi, itulah yang kita butuhkan untuk mengisi kekeringan akibat terpaan badai yang melanda tabung kaca persediaan air kehidupan kita. Untuk itu dibutuhkan strategi dan taktik yang jitu guna mendapatkan air itu. Jangan lupa, kalau si anak sepi sudah mendapatkan jurus-jurus ampuh dari kegelapan malam”. Semua penghuni dunia ‘lena’ pun segera bersiap diri dengan cepat setelah pertemuan mendadak itu. Semua persenjataan dikerahkan untuk itu, asap-asap racun, meriam-meriam kenikmatan, yang akan melumpuhkan syaraf-syaraf setiap makhluk yang bersentuhan dengannya.

***

Jalan-jalan berlumpur dengan ribuan kerikil, telah dicoba untuk dilewati oleh si anak sepi. Tapi sekali lagi, itu semua tidak memadamkan bara merah yang ada didalam dirinya untuk melanjutkan perjalanan menuju dunia ‘lena’. Semak-semak dengan ratusan duri dan jutaan pengganggu-pengganggu liar, dilewatinya dengan tabah dan pasrah. Ia berpegang pada pituah-pituah, yang diberikan oleh kegelapan malam. Baginya hanya ada dua pilihan, hanyut atau melawan arus besar yang bias meluluhlantakkan setiap bendungan sekuat apapun. Godaan dan cobaan yang diberikan oleh dunia ‘lena’ dianggapnya sebagai ujian kemampuan sebelum berhadapan dengan masalah sebenarnya. Tapi, suatu waktu adakalanya ia juga menderita kelelahan, sebuah istirahat dengan ribuan balutan dipergelangan tangan acapkali dilakukannya untuk mengembalikan semua anasir-anasir kekuatan tubuhnya yang dihisap secara paksa oleh jutaan lintah-lintah licin dan menggigit. Kadang ia berfikir untuk meredakannya dengan seloki anggur botolan dan sebatang rokok hijau lintingan tapi pada akhirnya ia juga menyadari bahwa itu artinya sama saja dengan takluk pada rayuan-rayuan palsu yang dilancarkan oleh dunia ‘lena’ guna memadamkan semua bara merah yang tersimpan dalam dadanya. Saat itulah timbul kesadaran dalam benaknya, bahwa lebih baik mati daripada menjadi budak-budak dunia ‘lena’. Pengalaman setahun menjadi hamba sahaya didunia ‘lena’ ternyata sudah cukup jadi pelajaran berharga bagi kesadaran dan pola fikir yang dimilikinya. Pernah suatu kali, jutaan wanita ayu dengan beragam variasi wajah dan postur menyambutnya dengan polos tanpa sehelai untaian benang, menyambut kedatangannya dengan hangat didaerah dingin ditutupi kabut yang merangsang setiap desakan kejantanan untuk mengejawantahkan semua hasrat yang dimiliki. Tapi untunglah, ketika itu ia sudah cukup kelelahan untuk menanggapi semua bentuk hasutan surga semu itu. Kadang linangan airmata beberapakali menggenang dipipi-pipi halus miliknya. Tetesan air mata, yang sering memicu godaan besar untuk meninggalkan raga. Sudah cukup jauh ia berjalan, tanda-tanda akan mendekati dunia ‘lena’ sudah kelihatan. Pressure-pressure, berupa rayuan dan ajakan, semakin kuat dirasakannya. Kali ini bahkan lebih dari apa yang pernah dihadapinya. Kalau dulu mungkin, hanya jutaan wanita yang bisa dihindarinya tapi kali ini, hanya ada satu wanita dengan sebotol anggur ditangan, terlihat berada dihadapannya. Wanita ini, ternyata jauh sekali perbedaannya dari sejuta wanita yang pernah ditemuinya. Sejuta wanita dengan sikap yang sama dengan rayuan-rayuan yang pernah terbantahkan olehnya mungkin tidak akan begitu mempengaruhi nyala bara dibenaknya. Wanita ini seolah membuatnya merasakan bahwa, ia sedang berhadapan sesuatu yang pernah mengasihinya. Ia seolah melihat, kegelapan malam sahabatnyalah, yang berada didepannya sembari menenteng sebotol anggur merah, mengajaknya untuk ikut bersamanya melewatkan hari dengan berbotol-botol anggur merah.

“Hai….anak sepi. Hendak kemanakah gerangan dirimu, wahai sahabat terkasih”. Ucap wanita itu dengan nada lembut dan membuat ia merasakan sedang berbaring diatas kasur-kasur empuk beralaskan kain putih. Kasur-kasur dimana tertumpah ratusan botol anggur merah.

“Ah, tidak sahabatku, aku tidak hendak kemana-mana, aku hanya ingin berada disini dengan belaimu”. Balasnya terpengaruh ajakan, wanita itu. Dengan tarikan tangan yang lembut, tubuh sianak sepi sudah melayang jatuh kedalam pelukan sang wanita. Dibaringkannya kepala, diatas paha berbalut kain merah jambu itu. Jari-jari halus terawat mulai membelai dengan lembut kepala si anak sepi. Tak terasa beberapa menit kemudian, ia telah terayun-ayun dalam imaji. Kecupan manis pemilik bibir tipis yang indah, melambungkannya kedalam padang rumput yang hijau dengan jutaan kupu-kupu didalamnya. Ruang-ruang dengan lampu-lampu jingga redup, kesanalah ia terlempar. Wanita itu, tetap setia menggenggam tangannya. Mereka terlihat bahagia dan tidak ingin semua keindahan ini berakhir. Diatas kasur-kasur beralaskan kain putih, disanalah mereka berdua membaringkan tubuh. Dua mata saling beradu pandang, dengan perasaan yang mendalam. Berbotol-botol anggur telah mereka habiskan, tiap tegukan, terasa membuai diri mereka dan membangkitkan hasrat-hasrat yang selama ini tersimpan. Dua unsur saling berpadu dalam kasih. Dua hati menyatu dan berjanji tak kan terpisah untuk selamanya. Masin-masing telah berikrar bahwa hidup akan dijalani berdua. Tidak ada yang bisa memisahkan mereka kecuali berpindahnya nyawa dari raga. Hari demi hari diwarnai dengan rintihan-rintihan tertahan dan kolam anggur merah, diatas kasur beralaskan kain putih. Tak terasa waktu tetap berjalan tanpa henti, nyawa si anak sepi hanya bisa diselamatkan dalam jangka waktu 24 jam lagi, kalau tidak silahkan hidup selamanya didalam dunia ‘lena’ dan menjadi budak abadi dari para warga dan petinggi dunia lena.

***

Saat ini, seperti biasanya, rintihan tertahan dan jutaan anggur mewarnai ruangan dengan lampu jingga redup itu. Dengan cinta mereka berpadu dalam rasa, wanita itu tetap menerima apapun hentakan yang dihasilkan sianak sepi. Serasa pulau utopia sudah didepan mata dan mereka akan hidup berdua disana selamanya sementara mereka hanya berbaring nyaman diatas awan putih lembut. Sebuah bentakan dengan nada sekeras baja, tiba-tiba menggoyang kenikmatan yang tengah direguk si anak sepi.

“Hei !!!!, kawanku sedang apa kau disana !!!. Kenapa kau, bisa terjatuh lagi dilubang yang sama ? Kawanku, janganlah engkau bertingkah layaknya keledai dungu yang bisa tertipu dengan jebakan yang sama untuk kedua kalinya. Jangan sampai tetesan airmata hangat itu kembali membasahi kedua belah pipimu. Sadarlah kawan, jangan serahkan hidupmu tanpa perlawanan pada dunia ‘lena’ bangsat itu !. Ayo kawan ! bangkit ! lawan ! lawan !”. Perlahan suara itu menghilang dalam rintihan-rintihan tertahan tanpa henti. Si anak sepi tidak bereaksi apa-apa, seolah ia tidak mengerti kehadiran suara itu. Padahal sesungguhnya kesadaran sejatinya tengah, bertempur hebat dengan kesadaran palsu penipu yang muncul akibat pertemuannya dengan wanita berambut hitam panjang itu. Dua unsur yang saling bertentangan itu berbenturan dengan sekuat tenaga. Tidak ada yang mau mengalah. Serangan demi serangan mematikan dilontarkan oleh kedua belah pihak seperti aliran air sungai. Bagai peluru-peluru hujan datangnya serangan-serangan mereka. Suatu saat, dimana pertarungan mencapai puncaknya, kesadaran palsu berjaya menyudutkan kesadaran, kesudut getir. Itu pertanda bahwa, kemenangan sudah berpihak pada kesadaran palsu. Dengan satu tikaman mematikan maka, kesadaran sejati akan hilang untuk selamanya. Sementara rintihan-rintihan tertahan masih berlangsung diluar pertarungan dua kesadaran itu. Seakan tidak terpengaruh sedikitpun pada bentrok yang tengah berlangsung antar dua kesadaran. Ditengah keterdesakannya, kesadaran sejati melempar senjatanya keluar arena pertarungan. Suatu tanda bahwa, ia mengaku kalah.

“Aku kalah….saat ini terserah padamu, akan kau apakan si anak sepi diluar sana. Tapi asal kau tahu saja, ia tidak selemah yang kau kira”.

“Ah ! diam !!! kau pecundang yang gagal. Kali ini nasib kalian berdua berada ditanganku, tidak ada sesuatupun yang bisa menyelamatkan kalian berdua. Akulah tuhan kalian saat ini. Menyerah ! atau mati !”. Sesumbar, kesadaran palsu dengan pongahnya. Suatu dorongan sekuat tenaga dari kesadaran palsu berhasil memporak- porandakan kesadaran sejati, hingga menjadi serpihan-serpihan kecil bagai debu. Dengan demikian maka hilanglah kesadaran sejati hingga waktu yang tidak bisa ditentukan. Tawa garang, kesadaran palsu, mengiringi kehancuran kesadaran sejati.

“Selamat jalan, wahai pecundang ! semoga selamat sampai akhirat”. Si anak sepi dan wanita berambut hitam panjang itu, masih tenggelam dalam siraman anggur merah dan rintihan tertahan. Seperti tiada akhir, bagi perpaduan yang mereka lakukan. Mereka berdua kelihatan bergerak teratur dan tiada kemungkinan untuk lelah atau berhenti. Kegelapan malam hanya menangis getir, melihat keterpurukkan yang dialami si anak sepi. Baginya, tiada harapan lagi, untuk bercengkrama bersama si anak sepi. Kehancuran kesadaran sejati adalah, akhir dari persahabatan mereka. Dengan hancurnya kesadaran sejati maka si anak sepi tak kan bisa mengenali kegelapan malam lagi. Senja terlihat merah membara, menandai perkabungan terhadap hilangnya salah satu anasir yang cukup dekat dengan itu. Hanya tinggal dua jam lagi waktu, yang mungkin bagi si anak sepi untuk menyelamatkan diri, dari perbudakan yang akan dideritanya selamanya. Kalau ia tidak bisa melewatinya maka ia akan menjadi sudra untuk selamanya. Tidak ada lagi kesempatan yang terbuka baginya.

***

Si anak sepi dengan bergelimang anggur dan rintihan, beberapa saat lagi akan menemui akhir dari keberadaannya. Tapi….apa itu ? suatu kejanggalan terjadi. Serpihan-serpihan kesadaran sejati, bergerak secara perlahan tapi pasti, mencoba untuk menyatukan diri dalam satu kesatuan yang bulat dan utuh. Ini sama sekali tidak diketahui oleh kesadaran palsu, yang sedang terkulai nyaman, beristirahat setelah pertempuran habis-habisan tadi. Tak seberapa lama, serpihan kesadaran sejati telah menggumpal dalam satu kesatuan. Ini cukup bisa merobek kesadaran si anak sepi. Ia, sempat tertegun bisu untuk beberapa saat, terdiam disamping tubuh wanita telanjang. Ia kelihatan, kebingungan dengan semua kejadian ini. Ia berdiri dengan pasti, dikenakannya pakaian untuk menutupi ketelanjangannya. Ditatapnya dengan perasaan tidak rela, wanita berambut panjang hitam itu. Tapi akhirnya ditinggalkannya si wanita dalam sepi.

“Aku harus pergi, waktuku hanya tinggal beberapa menit lagi. Hanya ada dua pilihan untuk saat ini bagiku yaitu, pergi dari sini atau tetap berdiam dengan resiko jadi budak-budak para penghuni dan petinggi dunia ‘lena’ “. Sebelum meninggalkan untuk cari selamat, si anak sepi mencoba untuk mencari dimana sumber kehidupan didunia ‘lena’. Ia bertekad untuk menghancur leburkan segala macam bentuk sumber kehidupan itu.

“Tabung kaca, sialan ! itulah yang harus jadi prioritas utama penghancuran yang akan kulakukan”. Tekadnya dengan kata. Sebuah, bangun elips raksasa kemudian ditemukannya tengah nangkring, didepan matanya. Bangun elips raksasa transparan dengan warna merah mudanya.
“Akhirnya….kutemukan juga kau tabung penghisap !”. makinya.
“Bagaimana ya, cara menghancurkannya ?”
“Tanyalah pada dirimu sendiri, nuranimu nantinya akan menyelesaikan semua perkara ini”, masukan itu terdengar sayup-sayup olehnya. Tanpa fikir panjang lagi, diambilnya kerikil merah hitam, dilemparkannya sekuat tenaga benda padat itu kearah posisi tabung kaca itu berdiri. Dengan hitungan jari memang belum bisa dipastikan, kehancuran terencana terhadap tabung kehidupan dunia ‘lena’. Tapi, ketika hitungannya sudah melampaui jari, kehancuran tembok kaca keras itu sudah bukan hal mustahil lagi. Kepingan-kepingan kaca kemudian terlihat berserakan disekeliling si anak sepi berdiri. Kehancuran itu mengakibatkan semua darah dan air tubuh yang dulu dihisap oleh para petinggi dan penghuni dunia ‘lena’ kembali secara utuh, keraga sianak sepi. Dunia ‘lena’ pun jadi debu beberapa waktu kemudian. Si anak sepi terpaku bisu ditengah reruntuhan dunia ‘lena’. Saat ini yang paling diinginkannya adalah, berbincang lucu dengan kegelapan malam, sahabat sejatinya.
“Bagaimana ya, kabarnya kegelapan malam sekarang ? apakah ia sehat saja atau memilih untuk mengakhiri hidupnya ?”. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang berkecamuk didalam dirinya. Tak ambil pusing, ia berjalan secara teratur dan pasti berbalik 180 derajat dari arah yang semula ditempuhnya. Jalan-jalan dan semak penuh duri kembali dilewatinya. Senyum lebar mengembang diwajahnya, pertanda kebahagiaan yang bersemayam dalam hatinya karena sahabat sejatinya, sebentar lagi akan kelihatan. Senja yang merah perlahan berganti menjadi malam yang kelam dan berkabut dingin. Disebuah sudut mayapada, terlihat dua unsur yang berhubungan baik satu sama lainnya, berbincang dengan akrabnya. Itulah si anak sepi dan kegelapan malam tengah bercengkrama


Related Posts with Thumbnails