Menunggu Mati
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu berada dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh (Qur’an, Al-Ashr : 1-3)
Aku akan mati!
Demikian ia menyimpulkan sendiri semua peristiwa yang terjadi pada dirinya dalam masa belakangan ini.
Ia merasa terjebak dalam keheningan yang tiba-tiba saja begitu kuat bergema. Sebuah ketakutan yang begitu asing tiba-tiba saja perlahan menyayat pembuluhnya. Mengalir jadi monster hitam bersama tik-tok jarum jam di luar kamarnya.
Ini untuk ketiga kalinya ia terjaga tengah malam. Persisnya pukul berapa ia tidak tahu. Ia cuma mengira-ngira dari sepi yang beredar di sekelilingnya. Juga nyanyian binatang malam yang tak henti-hentinya bertasbih memuji penciptanya.
Ya, tiba-tiba saja ia seperti bisa mendengar binatang-binatang malam itu bertasbih.
Subhanallah ..., Subhanallah ..., Subhanallah!
Ia menajamkan telinganya kembali. Benarkah yang didengarnya ini? Binatang-binatang itu bertasbih.
Ia menyangka tentu ia sedang mabuk seperti biasanya. Tapi kemudian ia menyangkalnya kembali. Sebelum tidur tadi ia hanya meneguk dua gelas air api. Tidak cukup banyak untuk membuatnya mabuk dan berhalusinasi.
Dan suara yang didengarnya begitu nyata.
Subahanallah ..., Subhanallah ..., Subhanallah!
Perlahan-lahan ia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju jendela. Disingkapnya tirai dan dibukanya jendela tersebut. Dingin langsung menyerbu kulitnya dan lebih meyakinkannya bahwa ia tak sedang bermimpi.
Ia melihat cahaya bulan hampir empat belas hari. Agak redup oleh kabut beraroma embun yang mulai turun membasahi segalanya. Sesaat ia terpukau memandangnya dan ...
Subhanallah ..., Subhanallah ..., Subhanallah!
Ia mendengar kembali suara-suara itu dengan jelasnya. Ia menjadi ketakutan sekarang dan langsung menutup jendelanya kembali. Tanpa menutup tirainya kembali ia melompat ke tempat tidurnya sambil menutupkan kedua telapak tangan ke telinga.
Tapi suara bertasbih itu tidak berhenti sama sekali. Bahkan sekarang semua yang ada di sekelilingnya ikut bertasbih. Tempat tidurnya, jam dinding di luar kamar, lemari, pintu, cermin besar di dinding kamarnya.
Subhanallah ..., Subhanallah ..., Subhanallah!
Ruang kamarnya serasa penuh oleh tasbih. Ia merasa tersiksa karenanya. Astaga, sekarang justru ia merasa mendengar denyut jantungnya sendiri menggumamkan tasbih dalam setiap detaknya.
Subhanallah ..., Subhanallah ..., Subhanallah!
Ia merasa tidak tahan lagi dan menghambur keluar kamarnya. Setengah berlari ia menuju lemari tempat ia menyimpan berbotol-botol air api yang selama ini menemaninya. Berbagai jenis di sana.
Ia mengambil salah satunya yang berisi setengah. Tanpa mengambil gelas ia membuka tutup botolnya dan siap memindahkan isinya ke dalam perutnya.
Tapi sekarang ia seperti mendengar botol yang tengah di genggamnya itu bertasbih sama seperti benda lainnya.
Subhanallah ..., Subhanallah ..., Subhanallah!
Dan botol-botol lainnya pun begitu ramai bertasbih. Menjadi seperti paduan suara yang bergemuruh. Menyatu dengan seluruh nafas semesta yang tak putus bertasbih.
Ia merasa menjadi gila karenanya. Lari ke kamar mandi untuk kemudian tanpa melepas pakaiannya terlebih dahulu ia menyiramkan bergayung-gayung air ke tubuhnya. Tidak puas dengan hal tersebut ia menceburkan dirinya ke dalam bak air tersebut dan merendam diri di sana beberapa saat lamanya.
Setelah begitu lama berendam di sana ia merasa menemukan ketenangan. Keluar dari bak mandi ia diserang letih dan kantuk yang sangat sehingga tanpa memperdulikan di tempat mana ia berada ia rebahkan tubuhnya.
Sepanjang siang ia memikirkan kejadian-kejadian yang menimpanya beberapa malam ini. Terlebih lagi peristiwa malam tadi di mana ia merasa seperti gila mendengar semua makhluk dan benda bertasbih.
Ia merasa tidak mabuk seperti biasanya sehingga tidak mungkin ia berhalusinasi. Ia juga tidak habis tripping atau ‘nyabu. Jadi tidak mungkin ia berhayal.
Segala yang didengarnya begitu nyata!
Ia masuk ke kamar dan memandangi wajah yang terpantul pada cermin besar di sana. Wajahnya.
“Kenapa?” tanyanya bingung. Seraut wajah di sana menunjukkan kebingungan yang sama dengannya.
“Apa yang terjadi denganmu?” katanya sambil menggelengkan kepalanya. Wajah di dalam kaca juga menggelengkan kepalanya.
Tiba-tiba saja ia merasa berhalusinasi kembali. Wajah di depannya ekspresinya berubah. Tidak menunjukkan kebingungan seperti dirinya. Cuma matanya yang tajam menyorotkan kepedihan.
“Siapa kau?” katanya dengan takut.
Wajah di dalam kaca menatapnya lekat-lekat.
“Aku adalah dirimu sendiri. Inilah engkau yang sebenarnya!”
Ia menggelengkan kepalanya. Ia yakin tengah berhalusinasi.
“Belum sampaikah waktu bagimu untuk kembali ke jalan Tuhanmu?” tanya wajah dalam kaca tersebut padanya.
Tiba-tiba saja ia berteriak sekeras-kerasnya. Dan dengan sekali sentakan ia membanting cermin besar tersebut ke lantai.
“Kau menyia-nyaiakan waktumu sendiri!”
Suara tersebut mengiang di telinganya. Ia sumbat telinganya dengan kedua jemarinya. Tapi sia-sia.
“Padahal waktu adalah rahasia besar!”
Suara itu tetap saja di dengarnya. Sebab ia tidak bisa menolak hati nuraninya sendiri.
Ia tertegun mendengar suara hatinya sendiri. Ia menyimpulkannya sendiri. Ia akan mati!
Ya, ia akan mati. Dan saat kematian itu adalah tepat jam dua belas tengah malam nanti!
Dan ia telah memutuskannya sendiri!
Maka ia mulai mempersiapkan segalanya dari sekarang. Lewat tengah hari ia keluar dari rumahnya dan mengunjungi kerabat dan tetangga sekitar rumahnya. Memohon maaf atas kebrengsekannya selama ini dan meminta kesediaan mereka untuk datang mengaji dan bertahlil di rumahnya malam ini. Mengiringi dan menemaninya menunggu mati!
Dan tiba-tiba saja ia menjadi berita besar di lingkungannya. Dan kali ini bukan lagi tentang kerusakan akhlaknya melainkan tentang undangan pengajian di rumahnya.
Tentu saja ini mengundang tanda tanya besar di kalangan warga sekitarnya. Ia, bajingan yang selama ini meresahkan masyarakat tiba-tiba saja datang memohon maaf dan mengundang mereka untuk datang mengaji dan bertahlil di rumahnya.
Sudah barang tentu ini merupakan kejutan yang membahagiakan mereka meski tidak sedikit yang mengira ini hanya senda gurau saja. Itulah sebabnya orang-orang sekitarnya menjadi tidak sabar untuk menunggu malam tiba.
Selepas Isya’ orang-orang itu mulai berkumpul di rumahnya. Dipimpin seorang Kyai orang-orang itu membaca surah Yaasiin dan bertahlil. Setelah selesai segalanya ia beranjak menuju kamarnya dan menyeret sebuah kasur ke tengah-tengah orang yang berkumpul.
Ia melakukan semuanya tanpa suara. Kemudian ia membaringkan dirinya di atas kasur tersebut diiringi tatap heran orang-orang di sekelilingnya.
“Saya akan mati malam ini, Pak!”
Ucapannya seketika menimbulkan kegemparan di kalangan orang-orang yang hadir.
“Saya telah mendapat firasat itu. Dan itu sebabnya sekarang ini saya bertobat dan mempersiapkan diri untuk menyambut mati.”
“Kematian itu sebuah rahasia besar, Nak!” kata Kyai menyela ucapannya.
“Tidak, Kyai. Saya telah mendapat firasat. Dan sekarang saya telah tobat dari semua keburukan dan kejelekan prilaku saya dahulu!”
“Syukur kalau kau memang telah bertobat!” kata Kyai sambil tersenyum padanya.
Dan ketika orang-orang itu pamit ia memohon agar mereka tidak pulang.
“Saya ingin ditemani saat kematian itu datang menjemput saya tepat jam dua belas malam ini!” katanya dengan yakin.
Dan orang-orang itu pun tidak jadi pulang. Melewatkan detik demi detik malam itu dengan penuh tanda tanya, juga ketegangan, dan harapan yang bercampur menjadi satu.
Orang-orang itu memintanya menceritakan secara persis firasatnya akan datangnya kematian malam ini.
Lantas ia mengulangi segalanya. Bermalam-malam tak bisa tidur, tasbih binatang malam yang didengarnya, juga botol-botol air api miliknya, hingga wajah di cermin yang memintanya segera bertaubat.
Dan orang-orang itu merasa takjub mendengarnya. Tidak sedikit yang dihinggapi iri kenapa bukan dirinya yang didatangi oleh ilham seperti itu.
Ting – tong!
Tiga puluh menit ke depan adalah saat yang dinantikan itu!
Orang-orangpun mulai kembali membaca tahlil dan ayat-ayat suci. Ia sendiri merebahkan tubuhnya di atas kasur beralaskan kain putih. Sepasang tangannya telah siap dengan posisi qiyam.
Semua menanti peralihan waktu tersebut.
Dua puluh menit.
Sepuluh.
Lima.
Semenit.
Detik-detik yang terasa melambat.
Mereka menafan nafas.
Sepuluh, sembilan, delapan, .....
Tiga, dua , satu ...!
Jam dinding berdentang dua belas kali.
Inikah saatnya? Semua menunggu dengan tegang. Bahkan nafas pun tak terdengar.
Semenit berlalu tak terjadi apapun.
Lima menit.
Akhirnya suara Kyai yang memecahkan suasana hening yang terbangun.
“Bersyukurlah, Nak. Kau masih diberi waktu untuk memperbaiki diri!”
Semua orang saling memandang mendengarnya. Di tengah ruangan ia tak bergeming dari tempatnya dengan wajah membeku.
Akhirnya perlahan ia bangkit dan duduk di pembaringannya.
“Aku tidak mati?” tanyanya dengan nada tidak percaya akan apa yang terjadi. Dengan bingung matanya bolak-balik memandang antara tangannya dan orang-orang di sekelilingnya.
Satu persatu orang-orang itu meninggalkan dirinya dalam kesendiriannya. Dan dalam kesendirian tiba-tiba saja ia dihinggapi oleh kekecewaan dan perasaan tertipu.
Tiba-tiba saja ia tertawa terbahak-bahak.
“Aku tidak mati !” katanya berulang kali di sela tawanya.
Matanya langsung menatap lemari besar tempat ia menyimpan minumannya selama ini. Dilangkahkannya kakinya ke sana dan tangannya terulur mengambil salah satu botol air api yang ada di sana.
Tanpa mengambil gelas ia bermaksud meneguknya. Mendadak ia ingat arak berusia seratus tahun yang diberikan oleh seorang temannya. Arak itu tersimpan di bawah tempat tidurnya dalam sebuah tabung dari bambu.
Wajahnya menyeringai membayangkan kenikmatan mereguk arak tersebut. Bergegas ia menuju ke kamar dan sesaat kemudian ia telah menggenggam tabungnya.
Masih sambil tertawa ia meneguk penuh satu tabung arak tersebut.
“Aku tidak jadi mati!” katanya ditutup dengan tawa yang panjang.
Tiba-tiba saja wajahnya berubah menyorotkan kesakitan di dada kirinya. Arak berusia seratus tahun ini terlalu keras rupanya untuk diminum sekaligus. Dan ia merasakan dadanya panas terbakar.
Ia berusaha lari ke luar mencari pertolongan. Ia hanya sempat membuka pintu dan terjatuh di teras rumahnya.
Mulutnya memuntahkan darah segar dan nafasnya menyesak. Pandangannya memburam dan tiba-tiba ia melihat bayangan itu.
“Kami telah berikan engkau satu kesempatan. Tapi kau menyia-nyiakannya!”
Begitu jelas ia mendengar suara dari bayangan itu. Lantas segalanya gelap. Dan ia menuju sesuatu yang asing.
Keesokan harinya orang-orang yang akan melaksanakan Sholat Subuh di masjid menemukannya telah beku dengan tabung arak yang telah kosong dalam pelukannya